Selasa, 20 Desember 2011
Bagaimana pandangan etika terhadap praktek bisnis yang curang
Etika menurut Kamus Besar Bhs. Indonesia (1995) adalah Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Etika adalah Ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral. Menurut Maryani & Ludigdo (2001) “Etika adalah Seperangkat aturan atau norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang di anut oleh sekelompok atau segolongan masyarakat atau profesi”
Dari asal usul kata, Etika berasal dari bahasa Yunani ‘ethos’ yang berarti adat istiadat/ kebiasaan yang baik Perkembangan Etika yaitu Studi tentang kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan, menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan pada umumnya.
Sedangkan secara sederhana Etika Bisnis itu adalah cara-cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan, industri dan juga masyarakat. Etika bisnis lebih luas dari ketentuan yang diatur oleh hukum, bahkan merupakan standar yang lebih tinggi dibandingkan standar minimal ketentuan hukum, karena dalam kegiatan bisnis seringkali kita temukan wilayah abu-abu yang tidak diatur oleh ketentuan hukum.
Contoh kasus : KASUS internet yang pertama kali diadili ternyata membuat penegak hukum bingung. Buktinya, Jaksa Yoseph N. Eddy hanya menuntut Tjandra Sugiono agar di-hukum empat bulan penjara dan denda Rp 30 juta oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tjandra, 32 tahun, mantan Manajer Pemasaran Internasional PT Martina Bertho, dianggap bersalah karena membajak nama domain www.mustika-ratu.com di dunia maya.
Tuntutan itu menunjukkan jaksa ragu-ragu atau kurang menguasai masalah jagat internet yang tergolong baru bagi dunia hukum. Tilik saja, jaksa menganggap terdakwa melanggar Pasal 382 bis KUHP, yang melarang persaingan curang dengan cara menipu masyarakat konsumen. Pasal ini berancaman maksimal hukuman setahun empat bulan penjara. Jaksa juga menilai terdakwa melanggar Pasal 19 huruf b dan Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang antimonopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Pasal ini mengancam pelaku usaha yang menghalangi masyarakat konsumen berhubungan dengan pelaku usaha saingannya dengan denda Rp 25 miliar hingga Rp 100 miliar atau kurungan maksimal enam bulan.
Dengan menilik ancaman hukuman dalam dua aturan itu, bagaimana jaksa bisa sampai menuntut empat bulan penjara dan denda Rp 30 juta atau kurungan pengganti selama tiga bulan? Yang jelas, Jaksa Yoseph merasa yakin bahwa dua aturan itu telah dilanggar terdakwa. Menurut jaksa, Tjandra mendaftarkan nama domain Mustika Ratu ke Network Solution Inc. di Amerika pada 7 Oktober 1999. Ketika itu Tjandra menjadi manajer di PT Martina Bertho, produsen jamu dan kosmetik tradisional Sari Ayu, yang bertugas memasarkan produk Sari Ayu di luar negeri. Kebetulan Tjandra adalah menantu Ratna Pranata, adik kandung Martha Tilaar, bos Sari Ayu-saingan utama PT Mustika Ratu milik Mooryati Sudibyo. Memang, Tjandra mengaku mendaftarkan nama domain Mustika Ratu semata-mata mewakili dirinya sendiri sebagai Presiden Direktur PT Djagomas, perusahaan di bidang teknologi informasi. Tapi Tjandra tak pernah mau menjelaskan secara lugas untuk apa ia membuat nama domain www.mustika-ratu.com, yang menunjukkan nama perusahaan saingan Sari Ayu itu. Yang pasti, kata jaksa, situs buatan Tjandra justru menampilkan produk Sari Ayu.
Jelas, "Pendaftaran nama domain tanpa setahu Mustika Ratu itu tergolong persaingan curang yang bisa mengelirukan orang," ujar Yoseph. Perbuatan itu, menurut jaksa, juga bisa menghalangi konsumen berhubungan dengan PT Mustika Ratu. Namun, Tjandra menganggap tuntutan jaksa amat berlebihan. Apalagi tak seorang pun dari 16 saksi di pengadilan mengaku pernah melihat situs mustika-ratu.com berisi produk Sari Ayu. "Situs itu kosong, belum diisi apa-apa. Masa, domain name yang tak diisi apa pun diganjar tuntutan empat bulan penjara? Saya jadi syok mendengarnya," kata Tjandra, yang berpenampilan rapi lazimnya manajer, di persidangan. Bagi Tjandra, kasus nama domain tak selayaknya diadili secara pidana. Di Los Angeles, Amerika, contohnya, juga ada seorang warga Indonesia bernama Theresia Hardianto yang mendaftarkan nama domain mustikaratu.com. Sampai kini kasus itu tak pernah dituntut, bahkan si pendaftar tetap menawarkan domain itu untuk dibeli siapa saja. Kalaupun Tjandra mau dibidik dengan UU Antimonopoli, sebenarnya undang-undang itu berlaku sejak 5 Maret 2000. Berarti, "Peraturan itu tak bisa berlaku surut. Karena itu, perbuatan saya mendaftarkan nama domain tak menyalahi aturan dan tak bisa dihukum,'' ujar Tjandra. Agaknya, Tjandra cenderung menyelesaikan kasus nama domain itu secara perdata. Itu sebabnya, ia pernah menawarkan situs itu secara cuma-cuma kepada Mustika Ratu. Apalagi, "Saya masih terhitung pemilik saham senilai Rp 100 juta di Mustika Ratu sejak 1997," tambahnya. Tapi Mustika Ratu tak mengindahkan tawaran Tjandra. Kasus itu tetap dilaporkan ke polisi, sementara nama domain tadi diambil alih oleh Mustika Ratu. Ujung-ujungnya, Tjandra diadili dan kemudian muncul tuntutan jaksa. Toh, Jaksa Yoseph berpendapat bahwa tuntutannya cukup membuat calon cybersquatter seperti Tjandra jadi jeri. Tinggal bagaimana nanti sikap majelis hakim yang diketuai Chasiany Tandjung.
sumber : majalah.tempointeraktif.com
Ada tiga penilaian yang memungkinkan suatu nama domain dipindah-tangankan. Pertama, nama domain tersebut mirip dengan suatu merek. Kedua, pemilik nama domain tersebut tidak memiliki hak atau legitimasi atas nama domain tersebut. Ketiga, pendaftar nama domain tersebut terbukti memiliki niatan yang tidak baik.